Dari Warisan Leluhur ke Ekonomi Kreatif: Batik Walang Kekek Menjaga Identitas Bangsa

Redaksi IDC | Thursday, 11 September 2025 | 19:30
Menil memperlihatkan hasil membatik motif serupa karya seniman usia 70 tahun (atas) dan usia 25 tahun (bawah)
Menil memperlihatkan hasil membatik motif serupa karya seniman usia 70 tahun (atas) dan usia 25 tahun (bawah)

MEDIAONLINEIDC.COM; SOLO– Di sebuah rumah tua di Jl. Parang Canthel No. 31, Laweyan, Surakarta, ribuan motif batik tersimpan rapi. Rumah

tu dikenal sebagai Galeri Batik Walang Kekek, milik Waldjinah, maestro keroncong legendaris Indonesia.

Nama Waldjinah selama ini identik dengan panggung musik. Namun kecintaannya pada batik membuat sang “Ratu Keroncong” ikut melestarikan kain tradisional tersebut. Kini, Galeri Walang Kekek dikelola menantunya, Menil Ester Wulandari. Menil- yang juga mencintai batik, meyakini bahwa batik tak hanya bernilai seni, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi kreatif Indonesia.

Koleksi Ribuan Motif Langka

Disambangi insan media Balikpapan bersama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan, pada Senin (08/ 09/ 2025), Menil bercerita, koleksi motif batik Galeri Walang Kekek mencapai hampir seribu motif batik langka. Sebagian besar digambar tangan di atas kertas singkong sejak abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 oleh keluarga Waldjinah.

“Banyak motif belum pernah tersebar, namun oleh leluhur dan keluarga Waldjinah turun temurun telah membudayakan batik sudah bisa menggambarkan.Contohnya motif batik ikan terbang indosiar, ini sudah ada sejak tahun 1950 an,” kata Menil antusias.

Ada pengaruh Jepang, Cina, Amerika, Belanda, sampai mitologi Yunani,” kata Menil lagi.

Kata Menil menjelaskan, koleksi ini bermula dari kakak sulung Waldjinah, yang ikut misi budaya Presiden Soekarno ke Amerika pada 1964. Sejak itu, batik Walang Kekek tak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di mancanegara.

Momentum penting datang pada 2009, ketika UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya tak benda dunia. Namun bagi Waldjinah penghargaan itu bukan akhir, justru awal dari tanggung jawab. Tahun 2016, saat Waldjinah mendapat penghargaan sebagai pelestari budaya oleh Presiden Joko Widodo, saat itu juga presiden meminta Waldjinah untuk terus menjaga pelestarian budaya Batik Walang Kekek yang merupakan batik lungsuran (warisan).

“Ibu selalu konsisten memakai kebaya, batik dan sanggul setiap kali perform sehingga pemerintah memberi dedikasi beliau yang konsisten selama 60 tahun berkarya,” ujarnya seraya tersenyum.

“Hal itulah yang memacu ibu Hajah Waldjinah untuk berpikir apa lagi yang bisa dikerjakan untuk bangsa Indonesia ini,” ujarnya lagi.

Pasar Global dan Ancaman Klaim

Lebih dari sekadar warisan leluhur, batik juga menjadi penopang ekonomi kreatif nasional. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor batik Indonesia terus mengalir ke pasar dunia.

Sejak 2018 hingga 2023, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Australia, dan Belanda selalu menjadi tujuan utama ekspor. Bahkan, sepanjang Januari–November 2023, nilai ekspor ke Amerika Serikat mencapai USD 326,57 juta atau 53,63% dari total ekspor batik Indonesia. Jepang menyumbang 9,17%, Jerman 7,35%, Australia 6,92%, dan Belanda 7,06%. (Sumber: BPS (Diolah PDSI Kementrian Perdagangan)).

“Pangsa ekspor Batik Indonesia ke Amerika Serikat sejak 2018 selalu lebih dari 50 persen. Artinya, lebih dari separuh batik Indonesia dinikmati masyarakat Amerika,” kata Menil menyebutkan.

Meski berakar pada tradisi, Menil menyadari, agar batik tetap relevan, perlu strategi baru, mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, Galeri Walang Kekek mulai memanfaatkan digitalisasi pemasaran. Langkah ini bukan hanya soal penjualan, tapi juga cara menumbuhkan empati dan kecintaan pada batik di kalangan generasi muda.

“Sekarang eranya online. Kita edukasi pembeli lewat media digital, kita buat kemasan rapi, bahkan ada panduan mencuci batik supaya awet. Pembeli merasa dihargai, bukan hanya membeli kain,” jelasnya.

Menil berujar, edukasi soal batik masih sering diabaikan. Ia mencontohkan kejadian ketika motif batik Slobok dijadikan seragam TK. Padahal motif tersebut digunakan untuk menutup jenazah. Secara filosofi, kata Menil, energi empati si pengguna menjadi sulit tumbuh.

“Itu sangat disayangkan. Setiap motif batik punya makna dan fungsi masing-masing. Kalau tidak diedukasi dengan benar, bisa terjadi salah kaprah seperti itu,” tegasnya.

Bagi Menil, batik bukan sekadar kain dengan motif indah. Ia adalah transfer energi leluhur, simbol identitas, dan juga peluang ekonomi. Ia berharap, pemerintah daerah dan komunitas kreatif bisa berkolaborasi untuk menjadikan batik sebagai identitas daerah sekaligus motor ekonomi.

Dimata Menil, Batik adalah simbol identitas dan persatuan. Ia mencontohkan. motif parang yang dalam budaya jawa melambangkan kekuatan dan tanggungjawab, bisa dikolaborasikan dengan ornamen khas suku dayak yang penuh makna spiritual.

“Saya bersedia seandainya nanti diajak oleh pemerintah daerah Balikpapan berkolaborasi. Bayangkan kalau kearifan lokal Balikpapan, Dayak, atau daerah lain dituangkan dalam batik, lalu dipamerkan lewat fashion show. Itu bisa jadi kebanggaan sekaligus nilai ekonomi,” katanya.

“Kalau mau tetap jadi pemegang kebudayaan, harus ada senimannya, bahan baku, kurikulum sekolah, pemakai, dan tentu regenerasi. Kalau tidak, batik bisa hilang bahkan diklaim negara lain,” ujarnya mengingatkan.

Dari Galeri Batik Walang Kekek, membuktikan bahwa batik bukan sekedar kain tradisional. Ia adalah cerita sejarah, simbol persatuan, sekaligus aset ekonomi kreatif yang bisa hidup lebih lama melalui sentuhan digital. Kata Ester dengan melestarikan budaya batik, maka otomatis kita turut menjaga warisan leluhur sekaligus membuktikan bahwa batik bisa menjadi kekuatan ekonomi kreatif Indonesia di kancah dunia.

“Kita tidak boleh lengah. Kalau tidak dijaga, batik bisa saja di klaim negara lain. Seperti kebaya yang diklaim beberapa negara. Perlu ada kurikulum sekolah, ada senimannya dan ada regenerasinya,” Kata Menil menekankan. (Imy)